
Agama Adalah Akhlak,Perilaku Dan Sikap
jika tidak setuju atau tidak suka terhadap pilihan orang lain maka bukan berarti tidak lagi menjalin hubungan apa pun dengan orang tersebut.
Dan jika hari ini aku mengucapkan "Selamat merayakan Natal bagi yang merayakan" maka bukan berarti aku menjadi Kristiani,Itu murni karena aku ingin menjalin dan menjaga hubungan apa pun dengan semua umat.
Karena agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Agama mengajarkan pada kesantunan, belas kasih dan cinta kasih sesama.
Saat ini nilai kesantunan dalam beragama mulai terkikis, munculnya kelompok Takfiri yaitu orang yang suka mengkafirkan orang lain, karena beda madzhab dan aliran.Mereka merusak Islam Rahmatan lil alamin menjadi laknatan lil alamin.
Dalam agama Islam perbedaan itu suatu rahmat, tetapi mereka malah menyalahi ajaran Islam, sehingga menjadikan perbedaan itu bencana. Orang yang beragama tapi suka menyesatkan, membid’ahkan, mengkafirkan orang lain, itu tandanya dia belum beragama dengan benar.
Menurut Cak Nun tudingan sesat dan kafir kepada orang lain sebenarnya menggerus nilai kemanusiaan. Betapa tidak, kafir dan muslim merupakan wilayah privat dan hal yang paling inheren dalam diri manusia. Tudingan kafir dan sesat menjadi justifikasi pencabutan nyawa seseorang atas nama agama yang sebenarnya sangat diharamkan dalam agama apapun.
Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun . “Cak Nun,” kata sang penanya, “misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?“
Cak Nun menjawab lantang, “Ya nolong orang kecelakaan.”
“Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?” kejar si penanya.
“Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu,” jawab Cak Nun.
“Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, ” katanya lagi. “Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi.Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.
Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu.Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.
Seraya bertanya balik, Emha berujar, “Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini.
Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.
Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan.
Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?”
Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan.Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.
Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama. Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.
Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat,baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama.Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.
Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial.Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya.Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama.Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh’afin (kaum tertindas).Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya.
Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.
(kang Darco).Di susun dari berbagai sumber kajian Cak Nun.











